Selasa, 10 Maret 2009

Kapan Kebodohan Ini Akan Berakhir?


Di saat harga minyak mentah dunia berkisar USD35 per barrel, tanggal 18 Februari 2009, Pemerintah melalui Menko Ekuin, mengaku telah kembali mensubsidi premium sebesar Rp.696 per liter mulai 17 Februari 2009 lalu
(http://www.detikfinance.com/read/2009/02/19/161748/1087513/4/premium-kembali-disubsidi-rp-696-per-liter). Alasannya yang dikemukakan adalah karena adanya kenaikan MOPS (Mid Oil Platts Singapore). Pemerintah menggunakan MOPS sebagai salah satu komponen untuk menghitung harga jual BBM kepada masyarakat. MOPS sendiri adalah penilaian produk untuk trading minyak yang dibuat oleh Platts (www.platts.com), anak perusahaan McGraw Hill, yang digunakan sebagai harga lelang di Singapura. Di dalam MOPS sendiri sudah termasuk harga produksi, margin keuntungan produsen dan pajak yang dikenakan kepada produsen. Pemerintah mulai menggunakan MOPS untuk menghitung harga jual premium ditandai dengan terbitnya Perpres No.55 Tahun 2005 hingga saat ini.

Sejak tahun 2006, setiap tahun Pemerintah melakukan tender terbuka pengadaan BBM bersubsidi (PSO = Public Service Obligation), dan sejak saat itu hingga sat ini, Pertamina selalu memenangkan tender tersebut. Pemenang tender PSO adalah penawar terendah dari nilai “alpha” dari formulasi Harga Jual = MOPS + “alpha” (%). Alpha sendiri adalah besaran yang mencakup biaya transpotasi, biaya tanki timbun dan retail fee di dalam negeri.

Jadi begitu MOPS naik, maka otomatis harga jual BBM bersubsidi (PKS - Premium, Kero/minyak tanah dan Solar - PKS) sebelum disubsidi akan ikut terkerek naik. Untuk mencegah gejolak harga naik pada PSO, maka, Pemerintahlah yang ‘menutup’ selisih harga antara harga penetapan dengan formulasi harga jual, inilah yang dimaksud dengan subsidi.

Mengapa MOPS?
Penilaian harga MOPS oleh Platts dilakukan untuk kepentingan perusahaan minyak maupun investor di bursa keuangan, yaitu antara lain long term contracts, spot sales, perencanaan ekonomi terhadap jenis minyak yang dimiliki perusahaan minyak, dan swap contract. Penilaian harga MOPS berdasarkan transaksi yang terjadi di sistem window Platts. Di mana seller dan buyer memasukkan volume untuk jenis minyak yang sesuai spesifikasi Platts dan harga bid/offer.

Penggunaan MOPS menimbulkan beberapa masalah. Pertama, dengan menggunakan MOPS, seolah-olah semua BBM diimpor dari Singapura, padahal kenyataannya sebagian besar BBM merupakan hasil pengolahan di kilang-kilang dalam negeri, yang tentunya memiliki struktur biaya yang lebih rendah. Kedua, untuk minyak tanah dan solar, walaupun biaya produksinya lebih rendah dibandingkan Premium, namun harga Internationalnya lebih tinggi, karena minyak tanah dan solar dikenakan pajak yang lebih besar. Ketiga, MOPS sangat tergantung pada pelaku pasar, akan selalu terjadi kenaikan harga apabila Pertamina berniat melakukan pembelian minyak untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri, karena para supplier Pertamina yang akan sangat aktif dalam melakukan bidding untuk menaikkan harga transaksi. Patokan harga keekonomian BBM yang berdasarkan penilaian harga MOPS akan membuat ‘oknum’ tertentu bekerja sama untuk berperan aktif dalam menaikkan penilaian harga MOPS.

Transaksi minyak yang terjadi di sistem window Platts yang sangatlah kecil (transaksi yang terjadi di Platts hanya sekitar 5 transaksi per hari) menjadikan MOPS yang tidak liquid sehingga akan membuat pembentukan harga yang diinginkan oknum tertentu dapat saja terjadi. Bagi perusahaan minyak penilaian harga MOPS hanya dijadikan patokan harga saja. Kebanyakan perusahaan minyak melakukan transaksi over the counter. Transaksi-transaksi seperti ini tidak tercatat di sistem window Platts.

Metode Lain
Selain MOPS, ada lembaga lain yang melakukan penilaian harga untuk trading produk minyak, dengan metode yang berbeda, yaitu Argus Media (www.argusmediagroup.com). Berbeda dengan penilaian harga MOPS, yang didasarkan pada transaksi yang terjadi di sistem window Platts, dimana seller dan buyer memasukkan volume untuk jenis minyak yang sesuai spesifikasi Platts dan harga bid/offer, maka Argus Media menggunakan metode survei, testing, dan analisis untuk menentukan penilaian harga minyak. Sehingga kemungkinan adanya upaya spekulasi untuk menaikkan harga seperti pada MOPS akan lebih sulit terjadi pada metode ini. Namun kenyataannya Pemerintah/Pertamina lebih memilih menggunakan MOPS dibandingkan Argus Media.

Pengaruhnya Terhadap SPBU
Penggunaan MOPS sebagai pedoman penentuan harga BBM oleh Pemerintah, menyebabkan harga BBM menjadi berfluktuasi mengikuti harga pasar. Pada saat harga naik, Pemerintah akan berupaya untuk memberikan subsidi terhadap PSO, namun semikian Pemerintah juga memiliki batas toleransi berapa besar subsidi yang dapat diberikan, agar tidak terlalu membebani APBN. Namun kembali lagi bahwa BBM bukanlah semata-mata masalah ekonomi, lebih merupakan sebuah komoditas politis. Dan pertimbangan politis seperti kita tahu bersama jauh lebih dominan dibandingkan dengan pertimbangan teknis maupun ekonomis.

Kelangkaan Premium sebagai salah satu BBM bersubsidi baru-baru ini, merupakan salah satu dampak dari penggunaan MOPS ini. Pada saat harga turun, SPBU akan menahan diri untuk menjual BBM bersubsidi, atau bahkan menunda untuk membeli BBM bersubsidi. Hal ini karena dengan menggunakan formulasi Harga Jual = MOPS + "Alpha" (%), potensi kerugian SPBU lebih besar saat harga turun. Hal ini disebabkan oleh mekanisme pembelian BBM Pertamina oleh SPBU dilakukan secara tunai. Untuk mengurangi potensi kerugian, pada saat harga BBM turun, SPBU mengurangi DO (Delivery Order) ke Pertamina. Akhirnya masyarakat mengalami kelangkaan BBM. Upaya Pemerintah untuk mengatasi ‘kegundahan’ pengusaha SPBU ini adalah dengan menjanjikan untuk menanggung selisih harga yang telah dibayarkan SPBU kepada Pertamina, sebuah upaya yang tentunya relatif sulit untuk dipraktekan di lapangan.

Kembali Ke Cara Lama
Dalam rangka usaha mengatasi masalah kelangkaan Premium, pengamat energi Kurtubi, mengusulkan Pemerintah menggunakan kembali cara lama, yaitu menggunakan formulasi Harga Jual = Biaya pokok + Fee, yang sudah terbukti selama 40 tahun tidak pernah menimbulkan masalah dalam distribusi BBM bersubsidi.

Formulasi lama juga dapat membuat SPBU akan dipacu untuk menjual BBM sebanyak mungkin. Sebab mereka akan mendapatkan fee sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. Pengubahan formulasi penghitungan dari MOPS ke metode lama dapat lakukan sesegera mungkin, karena untuk mengubah sistem tersebut tidak perlu melakukan amandemen UU Migas tahun 2003.

Kuncinya Adalah Pemerintah
Keengganan Pemerintah untuk memperbaiki masalah tata niaga BBM ini, menjadi indikasi kuatnya peran mafia migas di dalam Pemerintah. Walaupun begitu, menurut Iman Sugema, masih ada cara untuk menstabilkan harga BBM bersubsidi, yaitu dengan konsep keseimbangan fiskal. Melalui konsep ini keseimbangan fiskal (defisit atau surplus yang direncanakan) diupayakan tidak terganggu baik ketika harga minyak naik ataupun turun. Artinya setiap satu rupiah penambahan atau pengurangan subsidi harus dikompensasi dengan jumlah yang sama dari sisi penerimaan minyak. Contoh yang paling sederhana adalah kalau kita ingin menetapkan harga BBM sama dengan harga pokok pengadaan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengambil seluruh bagian PPN dan pajak bahan bakar untuk dialokasikan bagi subsidi.Tentu hal ini berarti pemerintah hanya mensubsidi pajak saja. Artinya, secara ekonomi pemerintah tidak memberikan subsidi sama sekali.

Jadi sampai kapan kebodohan ini akan berakhir?

Disclaimer. Penulis tidak di-endorse maupun meng-endorse organisasi masyarakat ataupun partai politik manapun. Tulisan ini semata-mata hanyalah opini pribadi.

Artikel ini ditulis pada tanggal 25 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda