Jumat, 29 Mei 2009

Editorial Media Indonesia di MetroTV: Obrolan Warung Kopi Orang Pake Jas


Pernahkah anda menyaksikan atau bahkan ikutan dalam sebuah acara di Metro TV yang bernama Editorial Media Indonesia? itu loh acara yang ditayangkan setiap pagi ini, membahas tema dari editorial sebuah harian yang memang satu group dengan Metro TV yaitu Harian Media Indonesia.

Acara ini dipandu oleh penyiar Metro TV dengan menghadirkan seorang 'narasumber' anggota redaksi Media Indonesia, yang keduanya berjas lengkap. Acara ini selalu ditayangkan secara live dan mengundang pemirsa untuk ikut serta secara interaktif dalam 'obrolan' baik hanya lewat sms maupun menelpon langsung.

'Obrolan' ketiga pihak ini sangat heboh, bahkan sering terjadi perdebatan diantara mereka (penyiar, penelpon - pemirsa- dan sang 'narasumber'), karena masing-masing mempertahankan pendapatnya, menurut pikiran dan logika masing-masing tentunya, dan karena mereka bukan pelaku ataupun terkait dengan topik yang sedang dibahas, sehingga perdebatan diantara mereka lebih tepat disebut debat kusir karena tidak pernah ada ujungnya. Obrolannya lebih mirip obrolan warung kopi bukan obrolan di sebuah TV nasional, apalagi masing-masing pihak merasa paling jago...

Usul aja, apa tidak sebaiknya acara ini diubah formatnya? jangan di studio tapi di sebuah warung kopi (bener-bener warung..bukan cafe), sehingga yang menjadi 'narasumber' maupun pembawa acrapun tidak perlu pake jas segala...namanya juga ngomong ngalor-ngidul, pantesnya ya di warung..mantabs

Selasa, 19 Mei 2009

Sertifikasi Perusahaan (Konstruksi) Ekonomi Biaya Tinggi?


Setelah sekian lama tidak terlibat dalam bidang konstruksi secara langsung, saya sangat terkejut dengan begitu berlikunya proses mendapatkan SIUJK (Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi) untuk perusahaan konstruksi yang baru dibuat oleh holding company tempat saya bekerja.

SIUJK nilainya setara dengan TDP pada perusahaan non-konstruksi, yang memungkinkan sebuah perusahaan konstruksi mengikuti tender baik proyek Pemerintah maupun swasta yang tentu saja disesuaikan dengan grade dari perusahaan. Sebelum mendapatkan SIUJK, perusahaan diwajibkan memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) yang dikeluarkan oleh asosiasi perusahaan (konstruksi) dimana perusahaan bergabung menjadi anggotanya.


Selain perusahaannya, penanggung jawab perusahaan diharuskan memiliki SKT (Sertifikat Ketrampilan Teknik) atau SKA (Sertifikat Keahlian). SKT/SKA ini sebelum ada LPJKN (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional), sering disebut sebagai SIPB (Surat Izin Perencana Bangunan) untuk konsultan. Proses sertifikasinya mirip dengan sertifikasi perusahaan, yaitu orang yang bersangkutan diwajibkan bergabung dengan salah satu asosiasi profesi sesuai dengan kebutuhan seperti menjadi perencana (konsultan), pelaksana (kontraktor) atau pengawas (manajemen konstruksi - MK). Setelah itu barulah dilakukan assesment sesuai dengan pengalaman, untuk nantinya dikatagorikan sebagai ahli muda, ahli madya atau ahli utama.

Demi kemajuan bangsa dan industri jasa konstruksi nasional, saya setuju dengan sertifikasi seperti ini, yang perlu kita cermati adalah jangan sampai biaya-biaya yang sudah dikeluarkan untuk sertifikasi (yang tidak dapat dikatakan murah ini), akhirnya akan menjadi beban dan menciptakan ekonomi biaya tinggi bagi perusahaan-perusahaan. Apalagi kemudian menjadi 'bancak-an' bagi oknum-oknum yang berwenang untuk mengeluarkan sertifikat tersebut.

Kamis, 14 Mei 2009

Rusunami: Sebuah Catatan Dari Perspektif Pengembang


Proyek Rusunami atau Rumah Susun Sederhana Milik merupakan bagian dari program 1000 menara yang telah dicanangkan oleh Pemerintah untuk ‘menarik’ kembali orang untuk kembali ke kota (back to city).

Program ini dicanangkan oleh Pemerintah dengan maksud agar penduduk kota Jakarta berpenghasilan menengah bawah yang selama ini sulit untuk memiliki rumah di dalam kota Jakarta agar dapat memiliki tempat tinggal layak di dalam kota. Tujuan akhir dari program ini setidaknya untuk mengurangi ‘penglaju’, yaitu orang-orang yang tinggal di daerah di sekitar Jakarta, namun setiap hari bekerja di Jakarta. Dengan mengurangi jumlah ‘penglaju’ berarti juga mengurangi kemacetan dan polusi serta pemborosan energi.

Proyek yang seharusnya menjadi proyek nasional, dan mendapat dukungan penuh dari Pemerintah, ternyata dilaksanakan tanpa adanya koordinasi yang baik antara Pemerintah pusat dengan Pemda DKI. Masalah IMB yang seharusnya dapat diselesaikan oleh antar instansi, malah berlarut-larut yang pada akhirnya merugikan konsumen. Hingga saat ini ada 6 (enam) proyek rusunami disegel dan terancam dibongkar oleh Pemda DKI.

Harus diakui, Pemda DKI memang berwenang untuk menyegel bangunan yang dibangun tanpa IMB, namun karena rusunami adalah proyek nasional bahkan disponsori sendiri oleh Kementrian Perumahan Rakyat RI, dapat dikatakan bahwa tindakkan Pemda DKI ini sedikit berlebihan.

Masalah lain selain perizinan adalah penetapan harga jual unit rusunami yang ditetapkan sebesar 144jt rupiah untuk luas unit minimum 36 m2 sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) No.22 Tahun 2006, padahal pengembanglah yang harus melakukan pembebasan lahan, pengolahan lahan, perizinan dan lainnya. Design rusunami yang dibangun lebih dari 5 lantai menyebabkan, rusunami secara struktur bangunan tidak berbeda dengan bangunan sejenis yang dibangun untuk perkantoran ataupun apartemen mewah yaitu pondasi tiang pancang dan sebagainya. Belum lagi utilitas yang diperlukan seperti elevator (lift) dan smoke/heat detector, sprinkler (pemadam api otomatis) dan juga hydrant pemadam kebakaran.

Idealnya, seperti halnya program rumah susun yang sudah ada sebelumnya, rusunami, dibangun pada lahan milik Pemerintah, termasuk design bangunan dan juga penyelesaian perizinan yang diperlukan seperti SIPPT dan IMB, sehingga harga jual maksimal 144jt rupiah untuk luas unit minimal 36m2 dapat tercapai tanpa mengurangi kualitas bangunan.

Terakhir, Pemerintah sebaiknya tidak menghapuskan PPN untuk rusunami, namun Pemerintah cukup mensubsidi PPN rusunami, karena dengan penghapusan PPN, berarti pengembang tidak dapat me-reimbust PPN yang telah mereka bayarkan untuk membeli material dan lain-lain.