Kamis, 14 Mei 2009

Rusunami: Sebuah Catatan Dari Perspektif Pengembang


Proyek Rusunami atau Rumah Susun Sederhana Milik merupakan bagian dari program 1000 menara yang telah dicanangkan oleh Pemerintah untuk ‘menarik’ kembali orang untuk kembali ke kota (back to city).

Program ini dicanangkan oleh Pemerintah dengan maksud agar penduduk kota Jakarta berpenghasilan menengah bawah yang selama ini sulit untuk memiliki rumah di dalam kota Jakarta agar dapat memiliki tempat tinggal layak di dalam kota. Tujuan akhir dari program ini setidaknya untuk mengurangi ‘penglaju’, yaitu orang-orang yang tinggal di daerah di sekitar Jakarta, namun setiap hari bekerja di Jakarta. Dengan mengurangi jumlah ‘penglaju’ berarti juga mengurangi kemacetan dan polusi serta pemborosan energi.

Proyek yang seharusnya menjadi proyek nasional, dan mendapat dukungan penuh dari Pemerintah, ternyata dilaksanakan tanpa adanya koordinasi yang baik antara Pemerintah pusat dengan Pemda DKI. Masalah IMB yang seharusnya dapat diselesaikan oleh antar instansi, malah berlarut-larut yang pada akhirnya merugikan konsumen. Hingga saat ini ada 6 (enam) proyek rusunami disegel dan terancam dibongkar oleh Pemda DKI.

Harus diakui, Pemda DKI memang berwenang untuk menyegel bangunan yang dibangun tanpa IMB, namun karena rusunami adalah proyek nasional bahkan disponsori sendiri oleh Kementrian Perumahan Rakyat RI, dapat dikatakan bahwa tindakkan Pemda DKI ini sedikit berlebihan.

Masalah lain selain perizinan adalah penetapan harga jual unit rusunami yang ditetapkan sebesar 144jt rupiah untuk luas unit minimum 36 m2 sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) No.22 Tahun 2006, padahal pengembanglah yang harus melakukan pembebasan lahan, pengolahan lahan, perizinan dan lainnya. Design rusunami yang dibangun lebih dari 5 lantai menyebabkan, rusunami secara struktur bangunan tidak berbeda dengan bangunan sejenis yang dibangun untuk perkantoran ataupun apartemen mewah yaitu pondasi tiang pancang dan sebagainya. Belum lagi utilitas yang diperlukan seperti elevator (lift) dan smoke/heat detector, sprinkler (pemadam api otomatis) dan juga hydrant pemadam kebakaran.

Idealnya, seperti halnya program rumah susun yang sudah ada sebelumnya, rusunami, dibangun pada lahan milik Pemerintah, termasuk design bangunan dan juga penyelesaian perizinan yang diperlukan seperti SIPPT dan IMB, sehingga harga jual maksimal 144jt rupiah untuk luas unit minimal 36m2 dapat tercapai tanpa mengurangi kualitas bangunan.

Terakhir, Pemerintah sebaiknya tidak menghapuskan PPN untuk rusunami, namun Pemerintah cukup mensubsidi PPN rusunami, karena dengan penghapusan PPN, berarti pengembang tidak dapat me-reimbust PPN yang telah mereka bayarkan untuk membeli material dan lain-lain.

2 komentar:

  1. harga itu bukannya terlalu murah pak... setahu saya malah bisa menembus angka 200jt... itu berarti rusunami atau rusunaya?
    saya tidak "maidho" harganya bisa segedhe itu, mengingat harga material dan tanah di jakarta sangatlah mahal apalagi fasilitas yang "harus" dipenuhi menurut persyaratan bangunan tinggi.

    BalasHapus
  2. Sebelumnya sy ucapkan terima kasih atas komentar bapak. Harga yg tinggi memang tdk dapat dihindari, tingginya harga lahan dan perizinan adalah fixed cost yang tidak mungkin dihindari. Ini belum termasuk mahalnya utilitas dari pembangunan rusunami tsb (krn peraturan juga). Belum lagi tuntutan pemerintah yg mengharuskan di lokasi rusunami disediakan fasos dan fasum yang tentunya tdk gratis pak. Concern saya justru pada saat setelah rusunami tsb dihuni, siapa yg akan membayar listrik untuk elevator, siapa yg membayar kebersihan dst yg biasanya di apartment2 dilakukan oleh building management dengan menarik maintenance fee setiap bulannya, yang tentunya jauh lebih mahal apabila dibandingkan dengan IPL (iuran pengelolaan lingkungan) yg biasa kita bayar kepada RT di landed house.

    BalasHapus

Terima kasih atas komentar anda